Senin, 11 Agustus 2008

Peran Negara Minimal, Pendidikan Jadi Mahal
Pada minggu-minggu terakhir ini ramai dibicarakan mengenai makin mahalnya biaya pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Meski nanti lulus SPMB, calon mahasiswa baru harus menghadapi persoalan berikutnya: kewajiban membayar biaya pendidikan yang sangat mahal. Menurut Antara News (04/07/07), di Universitas Indonesia, uang pangkalnya saja besarnya mencapai Rp 25 juta untuk fakultas-fakultas eksakta. Di PTN lain yang saat ini berstatus BHMN seperti IPB, ITB, Unpad, UGM, Unair, dan sebagainya juga menetapkan tarif uang pangkal yang tidak berbeda jauh dengan UI. Selain uang pangkal mereka juga diharuskan membayar berbagai komponen dana yang beragam di tiap jurusan dan fakultas. Semakin tinggi peminatnya, suatu jurusan atau fakultas akan menetapkan tarif yang tinggi pula. Beberapa jurusan atau fakultas di BHMN tersebut ada yang harus membayar total Rp 45 hingga Rp 120 juta.Akibat makin mahalnya biaya pendidikan di Perguruan Tinggi (PT), kejadian seperti pada tahun sebelumnya kemungkinan berulang, yaitu adanya beberapa peserta yang dinyatakan lulus SPMB, namun kemudian mengundurkan diri karena tidak mampu menanggung biaya pendidikannya.Akar Masalah: Hilangnya Peran NegaraMahalnya biaya pendidikan di jenjang Perguruan Tinggi (PT) memang telah sengaja dicanangkan. Hal ini bisa dilihat dari Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). DPR sudah memasukkan RUU BHP menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007 (Media Indonesia, 27/01/07).Jika dicermati, RUU tersebut mengarah pada upaya liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan nasional. Pemerintah secara bertahap berupaya meminimalkan tanggung jawabnya dalam pembiayaan pendidikan melalui APBN. Sejak tahun 2000 Pemerintah telah menggulirkan konsep BHMN yang sudah dijalankan oleh tujuh PTN (UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI dan Unair). Dalam BHMN, Pemerintah masih bertanggung jawab walaupun BHMN diberi otonomi sendiri. Namun, ketika BHMN berpindah status menjadi BHP, maka Pemerintah otomatis menyerahkan tanggung jawab pengelolaan universitas sepenuhnya kepada pihak pengelola pendidikan dan masyarakat, termasuk pembiayaannya. Padahal, dengan status BHMN saja, PTN rata-rata menaikkan beban biaya pendidikan yang sangat tinggi bagi para mahasiswanya, apalagi nanti kalau RUU BHP jadi diputuskan oleh DPR menjadi undang-undang.Mengapa Pemerintah meminimalkan perannya—bahkan cenderung melepaskan tanggung jawabnya—dalam pembiayaan pendidikan? Pertama: karena Pemerintah menggunakan paradigma Kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, Pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat; tidak peduli apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah akan memberikan izin kepada siapapun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para investor asing. Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidak bersekolah.Kedua: Dana APBN tidak mencukupi untuk pembiayaan pelayanan pendidikan. Pasalnya, sebagian besar pos pengeluaran dalam APBN adalah untuk membayar utang dan bunganya. Dalam APBN 2007, misalnya, anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (Tempointeraktif.com, 8/1/2007). Sebaliknya, untuk membayar utang pokok dan bunga utang mencapai 30 persen lebih dari total APBN. Kenyataan ini antara lain karena negara-negara pemberi utang mendorong negara-negara pengutang seperti Indonesia meminimalkan perannya dalam menyediakan pelayanan publik yang membutuhkan dana besar, seperti pendidikan. Pencabutan pembiayaan di sektor pelayanan publik termasuk pendidikan ini untuk memudahkan negara-negara pengutang membayar utangnya dengan lancar. Pengurangan subsidi ini telah menjadi syarat pemberian utang oleh Bank Dunia dengan skema SAP (Structural Adjustment Project). Pada saat yang sama, kekayaan alam di negeri ini—yang seharusnya menjadi sumber utama pemasukan negara—justru ’dipersembahkan’ kepada penjajah asing seperti ExxonMobil, Freeport, Unocal, Caltex, Shell, dan sebagainya.Dampak Hilangnya Peran Pemerintah dalam PendidikanAgenda utama ekonomi Kapitalisme global adalah menguasai (baca: menjajah) negara-negara Dunia Ketiga yang notabene adalah negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. Hilangnya peran negara dalam pendidikan ini tidak terlepas dari agenda Kapitalisme global. Dampak buruknya antara lain adalah: Pertama, terjadinya ’lingkaran setan’ kemiskinan. Tidak terjangkaunya biaya pendidikan akan menyebabkan banyaknya generasi umat yang tidak gagal mengembangkan potensi dirinya sehingga mereka tetap dalam kondisi miskin dan bodoh. Selain itu, masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Pendidikan berkualitas hanya bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas. Mereka dengan pendapatan menengah ke bawah akan putus sekolah di tingkat SD, SMP, atau paling tinggi SMU. Padahal sekolah dapat menjadi pintu perbaikan kompetensi masyarakat agar mereka mampu merancang perbaikan taraf hidupnya.Kedua, langgengnya penjajahan Kapitalisme di Indonesia. Sebagaimana diketahui, kunci utama untuk keluar dari penjajahan dan menuju kebangkitan adalah peningkatan taraf berpikir umat. Pendidikan merupakan unsur penting dalam peningkatan taraf berpikir umat tersebut. Sumberdaya alam (SDA) yang melimpah di suatu negara menjadi tidak berfungsi optimal manakala tidak didukung dengan SDM yang terdidik. Kondisi SDA Indonesia saat ini mulai menciut. Jika ditambah dengan SDM yang tidak terdidik maka nasib Indonesia akan semakin tenggelam dalam cengkeraman negara-negara kapitalis dalam rentang waktu yang sangat panjang.Pendidikan Wajib MurahDalam Islam, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) peserta didik serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi sebagaimana kebutuhan makan, minum, pakaian, rumah, kesehatan, dan sebagainya. Program wajib belajar berlaku atas seluruh rakyat pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Negara wajib menjamin pendidikan bagi seluruh warga dengan murah/gratis. Negara juga harus memberikan kesempatan kepada warganya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara murah/gratis dengan fasilitas sebaik mungkin (An Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, hlm. 283-284).Konsep pendidikan murah/gratis ini telah diterapkan oleh Khilafah Islam selama kurang lebih 1400 tahun, yaitu sejak Daulah didirikan di Madinah oleh Rasulullah saw. hingga Khilafah Ustmaniyah di Turki diruntuhkan oleh imperialis kafir pada tahun 1924 M. Selama kurun itu pendidikan Islam telah mampu mencetak SDM unggul yang bertaraf internasional dalam berbagai bidang. Di antaranya adalah Imam Malik bin Anas (w. 798), Imam Syafii (w. 820), Imam Ahmad bin Hanbal (w. 855), dan Imam Bukhari (w. 870) sebagai ahli al-Quran, hadis, fikih, dan sejarah; Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur; al-Khawarizmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi; al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika; ar-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan kimia; Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik; Ibnu al-Bairar (al-Nabati) sebagai ahli pertanian khususnya botani, dan masih banyak lagi.Dalam sistem Islam, hubungan Pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab. Penguasa Islam, Khalifah, bertanggung jawab penuh dalam memelihara urusan rakyatnya. Setiap warga negara harus dijamin pemenuhan kebutuhan dasarnya oleh negara, termasuk dalam pendidikan. Hal ini disandarkan pada sabda Rasulullah saw.:Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya (HR al-Bukhari dan Muslim).Darimana Khalifah mendapatkan sumber dana untuk menjalankan pendidikan gratis dan bermutu?Sumber dana untuk pendidikan bisa diambil dari hasil-hasil kekayaan alam milik rakyat. Dalam pandangan syariah Islam, air (kekayaan sungai, laut), padang rumput (hutan), migas, dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak adalah milik umum/rakyat. Rasulullah saw. bersabda:Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, hutan dan energi. (HR Ibn Majah).Khalifah bertugas untuk memenej pengeloaan sumberdaya alam tersebut dan mendistribusikannya kepada rakyat, misalnya untuk pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, dan sebagainya. Semua ini hanya mungkin terjadi jika sistem ekonomi Islam diterapkan oleh negara, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat.Sesungguhnya negeri ini tidak akan bisa keluar dari berbagai krisis yang membelenggu, kecuali jika syariah Islam diterapkan secara kâffah baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan sebagainya. Sungguh, hanya dengan syariah Islam dalam institusi Khilafah sajalah kita bisa meraih kemuliaan hidup di dunia dan akhirat.Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul dan orang-orang Mukmin. Namun, orang-orang munafik itu tidak akan mengetahuinya. (QS al-Munafiqun [63]: 8).[]
Diposting oleh ISLAM YES!!! di 20:17 0 komentar Link

Tidak ada komentar: